Universitas Islam Jember

Nikmatnya Menjadi Qari

  1. Shodiq Syarief *

Saya sangat bersyukur ditakdirkan pernah menjadi seorang qori.  Bahkan beberapa kali menjadi juara MTQ (Musabaqah Tilawatil Quran) –meski hanya tingkat kampung di kota kecil, Lumajang. Betapa tidak, dengan pengalaman itu jiwa seni saya dalam dunia tilawah (seni baca Alquran) hingga kini masih tetep terpatri.

Berbeda dengan seseorang yang bukan qari atau qariah, ketika mendegarkan alunan ayat-ayat Alquran yang dibaca secara tilawah, mungkin hanya merasa enak mendengarnya. Bahkan, jika (kaset/CD) diputar berulang-ulang, mungkin saja di antara mereka timbul rasa bosan, malah merasa terganggu aktivitasnya.

Atau minimal, alunan ayat-ayat suci itu dianggap seperti suara irama musik atau lagu-lagu syair biasa yang dibacakan oleh seorang penyanyi. Artinya, alunan ayat-ayat suci itu sama sekali tak menyentuh dalam jiwa seni mereka.

Akan halnya dengan seorang qari/qariah, setiap mendengar alunan tilawah ayat-ayat suci itu, bukan saja menarik perhatian dirinya. Lebih dari itu akan merasuk ke jiwa, dan langsung menikmatinya. Malah, jika di sekelilingnya ada suara-suara lain (orang berbicara, bunyi-bunyian) rasanya kenikmatannya sangat terganggu.

Tentu saja, jika alunan tilawah itu dibaca secara benar dan  tepat.  Lebih-lebih jika disertai suara yang merdu, serta paduan lagu-lagu yang bervariasi. Sebab, keindahan tilawah Alquran tidak hanya ditentukan oleh kemampuan seorang qari/qariah dalam memainkan lagu dan bagsunya suara. Lebih dari itu ketepatan membaca, baik makhraj (bunyi huruf) lebih-lebih tajwid (hukum bacaan) sangat mempengaruhi kualitas tilawah itu sendiri.

Masih banyak dijumpai para qari/qariah yang terbuai keindahan lagu dan suara yang merdu, tanpa memperhatikan kaidah-kaidah bacaan yang sebenarnya. Artinya, lagu yang seharusnya mengikuti tajwid, malah dibuat sebaliknya. Yakni, tajwid (dipaksa) mengikuti lagu yang dibawakan.

Akibatnya, bacaan menjadi kacau, kesalahan demi kesalahan terus berlangsung. Bahkan makna yang terkadung dalam ayat pun bisa berubah. Jika itu yang terjadi, bukan lagi kenikmatan yang dirasakan, namun ”kelaknatan” yang bakal diterima. Minimal, jika dia sedang berlomba (MTQ) bakal langsung gugur dengan sendirinmya.

Itulah Alquran, bacaan mulia orang beriman, pegangan hidup bagi setiap muslim, dan menjadi obat bagi siapa saja yang mengamalkan isi kandungannya. Kehebatannya sebagai wahyu Allah sampai saat ini belum tertandingi oleh kitab apa pun. Memang demikian adanya, kitab suci Alquran tidak akan pernah terlampaui keagungannya, bahkan sampai kiamat kelak. Kehebatan wahyu terakhir ini tidak sebatas kandungan maknanya yang selalu senafas dengan denyut peradaban manusia.

Tetapi lirik irama kata-katanya senantiasa memabukkan pencandu sastra. Setiap lirik dari bait ayat Alquran memiliki nilai dan maksud tersendiri. Bahkan semua tempatan kata tidak akan pernah mungkin sia-sia. Di samping itu, keistimewaan lain yang hanya dimiliki Alquran adalah kitab satu-satunya yang bernilai ibadah ketika dibaca. Pahala membacanya pun tidak dihitung oleh Tuhan dengan jumlah kalimat, tapi dengan hitungan huruf.

Untuk mempelajari cara membaca pun tidak terlalu sulit seperti sastra dan bahasa lain. Apalagi kini sudah banyak metode pembelajaran Alquran yang sistematis, baik untuk anak-anak maupun orang dewasa. Berbagai buku panduan telah tersedia di banyak tempat, mulai jenis Iqra’ , Qiroati dan lain-lain.

Berbeda dengan belajar melagukan (tilawah) hampir setiap peminat bisa (cukup) menirukan lewat radio, tape recorder, CD dan sejenisnya. Namun untuk  belajar tajwid dan makhraj-nya, sangat diperlukan seorang pemandu alias guru. Itu pun biasanya tak cukup seorang. Sebab, lebih banyak guru berarti akan lebih baik sebagai perbandingan kelebihan yang satu dengan lainnya.

Saya teringat ketika masih aktif di dunia qiroah (sebutan aktivitas seni baca Alquran) sekitar tahun 1974. Saat itu saya sudah beberapa kali menjadi juara MTQ tingkat kabupaten di Lumajang. Perasaan saya (mungkin juga kawan yang lain) sudah hebat. Namun ketika saya dan kawan-kawan (sesama qori) mencoba mentashhihkan (menguji pembetulan bacaan) ke seorang kiai ternyata belum ada apa-apanya.

Buktinya, ketika dites membaca surat Al-Fatihah saja, ternyata masih banyak yang ”salah”. Tak heran, untuk membetulkan bacaan ummul kitab itu saya dan kawan-kawan masih butuh waktu satu bulan lebih. Padahal ( sekali lagi) saat itu kami sudah beberapa kali menjuarai MTQ. Saya yakin, seandainya saat itu –apalagi sekarang—diuji oleh para senior, qari/qariah nasional/internasional, pasti tingkat benarnya tak sampai satu persen.

Menjadi qari/qariah profesional memang tak mudah, meski juga tak terlalu sulit. Seperti halnya profesi lain, asalkan ada kemauan keras, serius, istiqamah, berlati terus-menerus, insya Allah akan tercapai juga. Lebih-lebih jika keinginan itu disertai bakat alami yang melekat pada dirinya. Di antaranya memiliki suara bagus, tanpa harus direkayasan melalui beragam obat-obatan, misalnya.

Tentu saja, semua itu harus dan wajib disertai doa kepada Pemiliknya, yakni Allah Swt.

Yang tak kalah pentingnya agar selalu diingat, terutama saat menghadapi MTQ, adalah sikap ikhlas, tawadhu’, dan menjahui sifat takabur, riya’ dan meremehkan peserta lain. Sebab, jika hal-hal itu dilupakan, ”kecelakaan” mudah terjadi. Artinya, ada saja sebab-musabab gagalnya menjadi juara. Meski juara bukan satu-satunya tujuan mengikuti MTQ.

Ketika saya terpilih menjadi wakil Jatim mengikuti MTQ antarwartawan se-Asean di Pekanbaru, Riau, tahun 1996 lalu, perasaan riya’ dan takabur menggoda hati. Saat itu, saya yakin tak banyak wartawan (profesional) memiliki hobi dan bakat bertilawah

profesional pula. Saya membayangkan peserta MTQ wartawan hanya sekadar bisa, dan itu pun dadakan.

Nyatanya (meski tak sampai 20 persen) banyak wartawan yang mampu membacakannya secara bagus. Bahkan, juara favoritenya dipegang qariah dari Philipina, dan Thailand. Saya sendiri hanya masuk 10  besar bersama peserta dari Aceh, Jakarta, Kalbar, dan Malaysia. Itu fakta. Dan saya sadar bahwa riya’ dan takabur harus dibuang jauh-jauh ketika mengikuti MTQ.

Saya sangat terkesan dengan taushiyah Imam Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulum al-Din, yang membaginya ke dalam tiga kategori. Pertama, orang yang membaca Alquran seakan-akan dia berada di hadapan Allah Azza wa Jallah. Kedua, orang yang di waktu membaca Alquran dia menyaksikan dengan hatinya seolah-olah Allah melihatnya, berdialog dengannya. Ketiga, seorang yang ketika membaca Alquran dia melihat kalam Allah itu sebagai yang berbicara langsung kepadanya.

Jika suasana itu yang selalu terbayang di setiap qari/qariah saat MTQ, barangkali keberhasilan tak sulit berpihak padanya. Minimal—jika tak berhasil menjadi juara di arena MTQ—dia insyaallah akan mendapat ”gelar” tersendiri di sisi-Nya. Dan itu jauh lebih bermakna, dari sekadar menjadi juara MTQ yang dinilai para dewan hakim manusia biasa.

Forum MTQ memang merupakan media uji prestasi bagi peserta setelah menggeluti proses pembelajaran dan pelatihan berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun dengan cara yang beragam. Dengan

MTQ mereka seakan siap menunjukkan kebolehannya di depan publik bahwa dirinya adalah pembaca, penghafal, penafsir, (dan jenis lomba lain)  terbaik kitab suci Ilahi.

Karena itu betapa pun masih banyak kelemahan yang dijumpai dalam MTQ, kita semua hendaknya tetap husnudzan, Kita memang tak boleh berhenti hanya pada tingkat MTQ, sementara pengamalan isi kandungan Alquran nyaris belum tersentuh maksimal.

Dan itu salah satu alasan yang pernah  disampaikan Presiden Gus Dur (saat membuka MTQ nasional tahun 2000) bahwa dirinya termasuk penentang MTQ. Padahal, jika ditelusuri sejarah MTQ di negeri ini, justru KH Wahid Hasyim (ayahanda Gus Dur) –lah sebagai pelopornya. Hasilnya, sungguh menakjubkab. Kini ribuan (bahkan puluhan ribu) lembaga pembelajaran Alquran bermuncullan, baik tingkat TPQ di kampung-kampung hingga sekaliber Perguruan Tinggi Ilmu al-Quran/ Institut Ilmu al-Quran) PTIQ/IIQ  di pusat Jakarta.

Karena itu saya (dan tentu umat muslim umumnya) sangat menyambut gembira pelaksanaan MTQ antarmahasiswa perguruan tinggi (PT) se Jatim di Kampus almamater saya, Universitas  Jember (Unej) pada 11-13 Agustus mendatang. Yakni, suatu momentum yang banyak ditunggu oleh banyak pecinta seni baca Alquran, terutama di kalangan mahasiswa.

Dan, momentum ini tak akan terulang dalam waktu dekat, sebab pelaksanaanya dua tahun sekali. Jika jumlah PTS/PTN di Jatim mencapai 50-an, mungkin pelaksanaan di paling cepat sepuluh tahun lagi. Slamat bermusabaqah……

*Penulis adalah wartawan Jawa Pos, juga dosen di FISIP Universitas Islam Jember.

 

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
error: Konten dilindungi ...
0
Anda suka tulisan ini.? Silahkan komenx
()
x